Sejak 1869 Tarakan telah menjadi
pangkalan kapal perang Belanda
untuk mengawasi sisi utara
Kalimantan—berbatasan dengan
Malaysia Timur.
Meriam peninggalan Perang Dunia
II yang dapat kita saksikan di Pulau
Tarakan, Kalimantan Utara (Agus
Prijono).
Moncong meriam itu menatap
perairan barat di bagian selatan
Pulau Tarakan. Karat dan corat-coret
tangan jahil tak mampu menghapus
jejak kedigdayaan mesin perang itu.
Berperisai baja tebal, meriam berdiri
di atas beton kokoh. Dari perbukitan
Peningki Lama, Mamburungan,
Tarakan Timur, pantai Tarakan yang
menghadap Pulau Kalimantan
terlihat jelas. Pantas saja mesin
perang ditaruh di punggung bukit
untuk mengintai lawan.
Hulu meriam telah pecah terkoyak—
bisa jadi sengaja dirusak sebelum
direbut musuh. Onderdil mesin
meriam telah rontok. Tameng baja di
sisi kiri musnah. Lima meriam pantai
yang lain berderet menghadap
lautan antara Pulau Tarakan dan
Kalimantan.
Tak jauh dari meriam buatan Fried
Krupp Essen Jerman pada 1901 ini
sebuah bangunan beton segiempat
tegap berdiri. Di masa lalu, tempat
ini terlindungi tetumbuhan dan
semak. Kini, dua pintu nampak
terbuka menganga, kusen pintu
terbuat dari baja tebal, daun
pintunya lenyap, berdinding beton
selebar sekitar 30 sentimeter.
Belanda membangun gudang
perbekalan itu pada 1936 untuk
mendukung barisan artileri pantai.
Meski sunyi seyap, saat Perang
Dunia II, wilayah ini menjadi saksi
darah dan mesiu pernah meruap-
ruap di udara.
Gudang perbekalan menjadi salah
satu bagian penting dalam
pertahanan militer Belanda.
Tujuannya: memasok logistik bagi
serdadu di garis depan. Lokasinya
yang selalu di titik pertahanan,
membuktikan gudang ini sebagai
sarana perang.
Agar tak terendus musuh, sekujur
gudang logistik ditimbun tanah: di
atas, belakang dan samping. Hanya
bagian depan yang terbuka. Secara
teknis, timbunan tanah juga untuk
meredam getaran saat digempur
lawan.
Dari Peningki Lama, pertahanan
pantai Belanda berjejer ke Muara
Karungan hingga Tanjung Pasir. Tiga
area ini strategis bagi Belanda
menghadang Jepang dari pesisir
barat Tarakan. Pentingnya kawasan
ini sebagai benteng pertahanan
terlihat dari fasilitas perang yang
dibangun: artileri pantai, bungker,
gardu listrik dan tempat
pengintaian.
Di Tanjung Juata, Juata Laut, ujung
utara Pulau Tarakan yang berbatasan
dengan Laut Sulawesi, juga terdapat
situs tinggalan perang: 3 meriam,
gardu listrik, dan benteng beton. Di
Pantai Amal, sisi timur Tarakan,
Belanda membangun satu bungker
dan barak. Bungker atau bangunan
persembunyian di Tarakan setinggi
tubuh manusia, berukuran sekira 4
meter kali 3 meter.
Militer Belanda menempatkan
sekitar 15 meriam artileri pantai
buatan Jerman tahun 1901 dan
1902. Tiga meriam di Tanjung Juata
untuk wilayah utara; 12 meriam
tersebar di Peningki Lama, Muara
Karungan dan Tanjung pasir, untuk
membentengi pantai barat bagian
tengah dan selatan.
Foto yang terdapat di Museum
Rumah Bundar, Tarakan,
Kalimantan Utara. Inilah saat
penting pasukan sekutu mendarat
di Tarakan (Agus Prijono).
Sejak 1869 Tarakan telah menjadi
pangkalan kapal perang Belanda
untuk mengawasi sisi utara
Kalimantan—berbatasan dengan
Malaysia Timur di bawah Inggris.
Tak lama berselang, pada 1896
Belanda mengendus kekayaan
minyak bumi Tarakan. Belanda, tak
mengejutkan, menegaskan Tarakan
sebagai pulau strategis pada 1939.
Semenjak itu, pulau menjadi basis
pertahanan sebagai penghasil
minyak bumi dan pulau-pulau
sekitarnya.
Dalam peta yang terdapat di
Museum Rumah Bundar Kota
Tarakan, benteng pertahanan pantai
terpusat di Peningki Lama sampai
Tanjung Pasir. Belanda menduga
Jepang bakal menusuk dari sisi ini.
Di kawasan sebelah barat memang
terdapat industri minyak dengan
fasilitas sipil dan militer. Tak salah
lagi, pertahanan paling tangguh
berpusat di sisi barat.
Berbagai dokumentasi perang
merebut Tarakan dapat dilihat di
Museum Rumah Bundar Kota
Tarakan. Para serdadu yang
mendarat nampak keluar dari
lambung kapal perang di Pantai
Lingkas. “Bekas jembatan itu masih
ada. Tapi hanya tonggaknya, karena
diganti dengan jembatan baru,”
tutur Evan Erlangga, staf pengelola
museum.
Bangunan museum sebenarnya
bekas barak militer Australia dengan
atap melengkung. Semenjak perang
berakhir, para penduduk lantas
mendiami rumah bundar. Dari 11
unit, kini tersisa enam rumah
bundar. “Telah direnovasi,” imbuh
Evan.
Satu unit dibeli pemerintah kota,
yang lantas dijadikan museum. Evan
menjelaskan rumah bundar
sebenarnya tanpa plafon, sehingga
sirkulasi udara bisa berputar. Kini
rumah bundar yang ada telah diberi
plafon dan teras pada pintu masuk.
Berbagai relik Perang Dunia II di
Tarakan tersebar di sekujur pulau.
Sayangnya, perhatian terhadap saksi
bisu pertempuran berdarah-darah
itu masih minim. Hampir semua
tinggalan sejarah militer dibiarkan
begitu saja. Di situs-situs sejarah,
baik fasilitas perang maupun
industri minyak, hampir tanpa
informasi bagi pengunjung.( Agus
Prijono )
● National Geographic
Rabu, 02 Oktober 2013
Tarakan: Palagan Perang Dunia II
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar